Garut, Lintaskarawang.com – Indra Kurniawan, S.H selaku Pengamat Politik dan Hukum Tata Negara pada Jumat 27/10/2023 mengatakan Paska Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 yang sampai hari-hari ini masih menjadi trending topik dengan berbagai sudut pandang penilaian, baik secara hukum dan politik menggema menjadi kompleksitas yang tentu secara terang benderang menjadi konsumsi publik Ujarnya.
Pertanyaan sederhananya adalah tentang seberapa politis Putusan MK ini , Seberapa Legalistis Putusan ini dan seberapa besar kadar Konstitusionalitas dalam putusan ini yang tentu akan menentukan legitimasinya. Adagium tentang Hakim menyatakan Politiae legius non leges politii adoptandae – politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya lalu adagium lain juga menyatakan Iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur – hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya Imbuhnya.
Saat ini telah dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dengan komposisi Wahiduddin Adams, Jimly Asshiddiqie, dan Bintan R. Saragih sebagai anggotanya, tentu Majelis ini nantinya akan menilai seberapa menyimpang para hakim-hakim ini dalam memutus perkara Pemohon tentang Usia Capres/Cawapres.
Meskipun putusan MK memiliki sifat Final dan Binding serta tidak ada upaya hukum lain untuk menyatakan sebaliknya, tidak berarti putusan MK tersebut dapat diterima begitu saja, karena memang kontestasi Pilpres sangat berhubungan langsung dengan dampak dari Putusan MK ini, sehingga Publik merasa ragu tentang objektivitas dan independensinya.
Seluruh hakim MK dilaporkan atas dugaan putusan MK tersebut dianggap tidak mencerminkan integritas, penuh intervensi dan cenderung adanya potensi keberpihakan salah satu hakim terhadap substansi pemohon yang dampak putusannya akan berpengaruh terhadap keluarga dari hakim itu sendiri. Majunya Gibran rakabumung raka sebagai Cawapres adalah fakta hukum yang sudah Terjadi dikarenakan adanya Fakta hukum lain dari Putusan MK.
Legitimasi dari putusan MK ini juga seolah menambah keraguan Publik terhadap tuduhan bahwa kekuasaan telah berhasil mendikte penciptaan hukum untuk kepentingan yang Parsial sehingga mekanisme putusan secara materil tidak menggunakan kaidah konstitusional substantif, melainkan adanya praktek memaksakan kepentingan golongan.
Jika kita menelaah tentang prinsip-prinsip kewenangan Hakim Mahkamah Konstitusi maka pendekatan Teoritis harus mampu disajikan secara tepat dalam menilai apakah hakim-hakim yang diduga menyalahgunakan wewenang Pada putusan MK ini memang tidak bebas nilai, dan atau terjadinya Putusan MK betu-betul telah terjadi pelanggaran moral atau diskriminasi seperti hal nya dalil yang disampaikan Pemohon yang menyatakan bahwa “ objek permohonan jelas-jelas merupakan suatu bentuk pelanggaran moral, yang memiliki makna nilai yang berhubungan dengan yang baik dan yang buruk. Sebab, hal ini berhubungan erat dengan diskriminasi karena ketentuan dalam objek permohonan menciptakan suatu diskriminasi dari perbedaan golongan umur yang mengakibatkan terciderainya satu golongan kelompok umur yang seharusnya diberikan kesempatan yang sama “. Disisi lain Mahkamah Konstitusi juga terikat dengan adanya pertimbangan open legal policy dalam Poin 118 halaman 32 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU- XV/2017, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menyatakan: “… Mahkamah tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable…”.
Maka jika kita uji secara seksama apakah dalil pemohon yang menyatakan bahwa Batasan usia 40 tahun dalam pencalonan Capres/Cawapres mampu dikualifikasikan sebagai bentuk Pelanggaran moral, rasionalitas dan intolerable adalah menjadi multitafsir, sehingga butuh pendekatan yang utuh dari para hakim-hakim MK terutama pada prinsip-prinsip kehati-hatian dalam memutus satu perkara dan tentu harus dihitung dampak legitimasinya terhadap masyarakat secara keseluruhan.
Apa yang disampaikan oleh Aileen Kavanagh dalam “Judicial Restraint In The Pursuit Of Justice” di kalsifikasikan bahwa dalam menilai sebuah perkara hakim harus memilki pengetahuan dan pemahaman tentang pengekangan hakim untuk menahan diri dalam memutuskan perkara-perkara yang memiliki potensi konflik kepentingan yang besar. Kemudian dalam satu jurnal vivajusticia.law.ugm.ac.id dengan judul Batasan mahkamah konstitusi dalam menguji undang undang di sampaikan bahwa terdapat empat jenis alasan institusional, yaitu 1) judicial expertise; 2) the incrementalist nature of judicial law; 3) relative institusional legitimacy; 4) reputation of the court. Judicial expertise merujuk pada batasan pengetahuan dan penguasaan dari hakim terkait dengan kasus-kasus yang ditangani. Dalam situasi dimana hakim tidak mengetahui atau setidaknya kurang yakin tentang bagaimana seharusnya sebuah perkara harus diselesaikan, atau mungkin tidak tahu atau tidak yakin terhadap konsekuensi dari putusan hakim, maka ketidak pastian yang demikian dapat memberikan dasar untuk dilakukannya judicial restraint sampai derajat tertentu.
Jika Batasan usia 40 bagi Capres dan cawapres pada Putusan MK kemarin tetap di tolak dengan pengecualian bagi para Kepala daerah dan Pejabat publik yang dipilih secara elected official, maka dapat dinilai bahwa prinsip dasar keputusan itu menjadi tidak konsisten, karena konsiderasi makna sepanjang telah dan pernah menjadi Kepala daerah ditambah frasa atau Pejabat yang dipilih oleh pemilihan umum menjadi norma baru dan menempatkan Yudikatif mengambil peran legislatif dan eksektuif yang tentunya semakin mengaburkan prinsip pemisahan kekuasaan yang selama ini menjadi pegangan Lembaga-lembaga negara di Indonesia dalam menggunakan kewenangannya.
Kontradiksi kepentingan pemohon pun yang dalam dalilnya menyebutkan bahwa ketentuan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dalam Batasan usia 40 tahun bagi capres dan cawapres adalah bentuk ageisme sehingga membuat stereotype dan diskriminasi terhadap individu mungkin saja bisa dijadikan alasan substantial, akan tetapi Ketika pemohon menambah syarat lainnya dengan tambahan “ atau mempunyai pengalaman sebagai Kepala daerah” adalah bentuk ketiadaan kepentingan bagi dirinya karena pemohon tidak pernah atau sedang menjadi kepala daerah. Tentu saja dua syarat yang diajukan pemohon menjadi tidak dapat diterima karena sebetulnya tidak ada hak pemohon yang dilanggar oleh UU Pemilu tentang pernah menjadi kepala daerah kecuali tentang Batasan usianya saja. Maka seharusnya kedudukan hukum pemohon dengan 2 dalil dalam petitumnya seharusnya menjadi satu kesatuan yang harus dibaca oleh mahkamah konstitusi sehingga sejak awal pemohon harus dianggap tidak memiliki legal standing pada keseluruhan susbtansi yang diajukan.
Id perfectum est quad ex omnibus suis partibus constant – sesuatu dinyatakan sempurna apabila setiap bagiannya lengkap, sebuah refleksi dalam Putusan Mahkamah Nomor 90/PUU-XXI/2023, bahwa Putusan ini bernuansa Personal karena secara materil, legal standing dan momentum substantial sangat berkaitan dengan jalan seseorang untuk diijinkan secara hukum menjadi cawapres dan disisi lain juga keksiruhan Putusan ini juga dikarenakan adanya potensi konflik kepentingan antara salah satu hakim MK dengan Gibran Rakabuming Raka yang tentu saja pertimbangan memeriksa dan memutuskan pada permohonan ini hakim harus menggali dan menempatkan Judicial Restraint sebagai pedoman untuk kemudian hakim sebaikanya tidak melakukan sesuatu sebagai sikap kehati-hatian apabila perkara ini di periksa dan diputus dengan berbagai alasan yuridis karena dimungkinkan terciptanya kegaduhan sosio dan politik sebagamana yang terjadi saat ini.
Richard A Posner dalam The Meaning of Judicial Self-Restraint memberi pernyataan agar menjaga sikap hakim-hakim ini independent maka ” as the judicial oath puts it. The judge is not to decide even a very close case on the basis of which of the parties is the more appealing, more sympathetic human being, or which has the better or the nicer lawyer or more powerful friends in the news media, or which belongs to the judge’s own class, race, or sex. We say that a decision influenced by any of these factors is not impartial. But that is just a conclusion. A decision is not impartial if factors that ought to be extraneous to the decisionmaking process influence it; but we must ask why certain factors are extraneous and othersthe “felt necessities of the time,”. Secara ekplisit Posner memberi deskripsi bahwa dalam judicial Restraint keadaan yang menunjang Ketika keputusan terlalu banyak dipengaruhi oleh keterhubungan dengan perkara-perkara , adanya pihak-pihak yang dianggap lebih menarik dan potensi keberpihakan itu muncul baik dari pandangan hakim sendiri atau berpotensi menjadi isu sosial Ketika keputusan diambil, maka disitulah sikap diam hakim harus didahulukan, bahkan mekanisme untuk mundur dalam perkara-perakara itu lebih wise dilakukan.
Karena berkenaan dengan proses politik Pilpres maka hakim harus menghindari dari pertimbangan non yuridis seperti yang dikatakan posner juga bahwa judicial restraint harus memaksa hakim dalam keadaan “prudential selfrestraint in political aspect” (menahan diri dengan kehati-hatian dalam aspek politik). Sehingga saya memberi keadaan teoritis pada Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, tentang Batas Usia Capres/Cawapres dan syarat pernah atau sedang menjadi elected official di Indonesia pada prinsip konstitsional Substantive nya tidak memiliki masalah berarti, akan tetapi pada institusional (institutional reason) nya keadaan Hakim-Hakim pada putusan ini tidak bebas nilai, dan terdapat alasan non yuridis yang menjadi pertimbangan, sehingga sistem civil law yang menjadikan hakim sebagai corong undang-undang berubah seketika menjadi Common Law yang berorientasi pada pencarian hukum baru dan dalam Putusan ini trigger pencarian hukum tidak menempatkan teoritical base karena kecenderungan putusan lebih ditrigger oleh aspek Political power.
Dari sudut dan isu lain yang menghembuskan dinasti politik dalam keluarga pak Jokowi dalam sudut pandang Politis merupakan pendapat yang prematur, karena dinasti politik dalam demokrasi adalah hal biasa dan hampir mayoritas pejabat publik di Indonesia tercipta karena dinasti. Sebut saja posisi strategis mas Agus Harimurti Yudhoyono oleh pak SBY, lalu kemudian Hanafi Rais oleh pak Amin rais, lalu ada Mba Puan Maharani oleh Bu megawati yang tentu bung karno sebagai figur awal tidak bisa dilepaskan, sehingga kekisruhan pada Putusan MK ini adalah berkenaan hanya dengan Prilaku hakim, Konsiderasi hakim, dan unsur kehati-hatian hakim dalam memeriksa dan memutus perkara ini, karena prinsip konstitusionalitas yang paling Utama adalah Equalty atau keseteraan bagi siapapun untuk bisa menduduki jabatan publik. Maka Ketika seseorang yang usianya dibawah 40 tahun tetapi tidak atau belum pernah menjadi elected official tidak boleh mengajukan sebagai capres/cawapres maka keadaan ini juga bisa di anggap Tindakan diskriminatif yang diciptakan oleh putusan MK itu sendiri Pungkasnya. * DMY*