Karawang, Lintaskarawang.com – 4 Januari 2025. Seorang pengacara kondang asal Karawang, Dr. Syafrial Bakri, S.H., S.E., M.H., CPCLE, kembali menyoroti adanya kejanggalan dalam proses peradilan di Pengadilan Negeri (PN) Karawang, terkait dengan amar putusan dalam perkara No. 69/Pdt.G/2024/PN Karawang.
Kejadian ini mencuat setelah amar putusan yang semula diumumkan melalui sistem e-Court pada 30 Desember 2024, tiba-tiba hilang dan statusnya berubah menjadi “putusan belum siap karena salah satu anggota majelis masih cuti.” Peristiwa ini menimbulkan kegemparan di kalangan praktisi hukum dan memunculkan pertanyaan besar mengenai transparansi dan akuntabilitas sistem peradilan digital di Indonesia.
Dr. Syafrial Bakri, yang juga bertindak sebagai kuasa hukum Wahyudi, pihak yang terlibat dalam perkara tersebut, mengungkapkan kekecewaannya atas kejadian ini. Pada 30 Desember 2024, tepat pukul 16:00, kami menerima amar putusan melalui e-Court. Namun, ketika kami meminta salinan resmi, kami terkejut karena statusnya berubah menjadi ‘putusan belum tersedia’.
Kami kemudian diberitahukan bahwa putusan ini akan ditunda hingga 8 Januari 2025. Ini jelas mengancam prinsip kepastian hukum yang seharusnya dijaga dalam proses peradilan,” ujar Syafrial. Syafrial Bakri menegaskan bahwa pihaknya tidak akan tinggal diam terhadap kejadian ini dan berencana mengambil langkah tegas.
Kami akan melaporkan masalah ini ke Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, serta Badan Pengawasan Mahkamah Agung. Sebelum itu, saya juga akan mengadukan hal ini kepada Ketua DPD Himpunan Advokat Pengacara Indonesia (HAPI) Jawa Barat, untuk memastikan bahwa pihak-pihak terkait bertanggung jawab atas ketidakpastian yang terjadi,” tegasnya. Sistem e-Court yang sebelumnya dipuji sebagai terobosan digital dalam dunia peradilan, yang diharapkan dapat mempermudah, mempercepat, dan meningkatkan transparansi proses hukum, kini justru memunculkan kebingungan dan ketidakpastian.
Hal ini berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap dunia peradilan Indonesia. Ketua DPD HAPI Jawa Barat, yang turut menanggapi insiden ini, mendukung langkah hukum yang diambil oleh anggotanya. Ia menjelaskan bahwa proses pengucapan putusan atau penetapan secara hukum dilakukan dengan mengunggah salinan putusan ke dalam Sistem Informasi Pengadilan (SIP), yang sah menjadikannya dokumen elektronik yang diakui.
Putusan yang dibacakan secara elektronik melalui e-Court, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 PERMA No. 7 Tahun 2022 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik, memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan yang dibacakan secara fisik dalam sidang langsung. Kami mendukung agar masalah ini dilaporkan kepada KY, MA, dan Bawas MA sebagai langkah awal reformasi untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang di masa depan,” jelas Ketua DPD HAPI Jawa Barat.
Kini, perhatian publik tertuju pada langkah selanjutnya dalam kasus ini. Apakah sistem peradilan digital akan mampu mempertahankan kredibilitasnya, ataukah insiden ini akan menjadi bukti bahwa sistem peradilan Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal transparansi dan akuntabilitas? Ketidakpastian ini mengingatkan kita akan pentingnya perbaikan dalam reformasi peradilan yang berfokus pada keadilan yang adil dan transparan. (Ripai)