Karawang, Lintaskarawang.com – Tim “Sanggabuana Javan Gibbon Expedition” (SJGE), yang sedang menjelajah kawasan pegunungan Sanggabuana untuk mendata populasi Owa Jawa, melaporkan penemuan menarik lainnya pada hari keempat ekspedisi. Kali ini, mereka menemukan bebatuan dengan berbagai bentuk dan ukuran yang diduga sebagai artefak. Tim ekspedisi ini dibentuk oleh Sanggabuana Conservation Foundation (SCF) dan Astra Otopart Group, dengan dukungan dari Denharrahlat Kostrad, BBKSDA Jabar, dan Perum Perhutani.
Penemuan bebatuan unik ini dilaporkan pada Minggu, 4 Agustus 2024. Komarudin, anggota Tim Beta SJGE dan Sanggabuana Wildlife Ranger, menyatakan bahwa batu-batu tersebut ditemukan di sebuah gubuk di sawah pinggiran hutan Pegunungan Sanggabuana. “Ada yang sudah dipakai sebagai tatakan tiang atau ‘umpak’ saung/gubuk, ada yang dipakai untuk tatakan batu asahan, dan sebagian dipakai untuk tempat duduk. Beberapa batu berserakan di halaman dan digunakan sebagai pondasi tanah halaman gubuk,” jelas Komarudin, yang akrab dipanggil Koko.
Menurut Komarudin, beberapa batu tersebut berukuran besar dengan diameter sekitar 40 cm dan ada yang berbentuk seperti buah labu. Diameter paling kecil sekitar 15 cm, sementara lainnya berbentuk bundar dengan ketebalan sekitar 8 cm. “Yang aneh, sebagian besar memiliki lubang di tengah dan seperti as yang tembus ke sisi sebaliknya, ini seperti batu yang memiliki fungsi sebagai alat. Bisa jadi sebuah artefak. Tapi masyarakat menyebutnya fosil,” terang Koko.
Komarudin menambahkan bahwa salah satu batu yang ditemukan terlihat seperti alat untuk menggiling gandum di Eropa pada zaman kuno. “Satu lagi oleh anggota tim sempat dicek di Google Lens, yang muncul fosil labu, dan bahkan ada yang dijual di marketplace dengan harga tinggi,” tambahnya.
Menurut hasil penelusuran, di kampung-kampung sekitar tempat penemuan ini sering ditemukan fosil batu atau batu-batuan yang diduga sebagai artefak. Namun, banyak dari batu-batu tersebut yang dibawa keluar oleh para pendatang. Di sekitar gubuk tempat penemuan batu tersebut, pernah ditemukan batu berbentuk kura-kura yang juga telah dibawa keluar untuk diteliti.
Di kawasan Sanggabuana, memang terdapat beberapa prasasti, seperti prasasti Kebon Jambe di Mekarbuana, Situs Makam Gunung Leutik, dan Situs Bojong Manggu. Namun, tidak ditemukan situs yang terdaftar di sekitar penemuan bebatuan yang diduga artefak ini.
Dharma Putra G, SS, Tim Ahli Cagar Budaya Karawang, menyebut bahwa foto-foto bebatuan temuan tim SJGE kemungkinan merupakan fosil organik. Menurutnya, fosilisasi dapat terjadi melalui proses alamiah yang memakan waktu panjang, sekitar 10.000 tahun, tergantung pada oksigen tanah, letak geografis, iklim, dan unsur tanah. “Ini menarik, tapi detail lebih lanjut hanya bisa dipastikan setelah saya melakukan pengecekan langsung di lapangan. Minggu ini saya akan mengecek ke lapangan,” ujar Dharma.
Sementara itu, Sanip Syarifudin, tokoh budaya Karawang yang akrab disapa Abah Bapung, mengatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Karawang sebaiknya turun tangan untuk menyelamatkan berbagai artefak atau fosil yang ditemukan di Karawang Selatan. “Tentunya Pemkab Karawang harus mengekskavasi serta bisa mengumpulkan dan menempatkan temuan-temuan ini di tempat yang seharusnya, selain untuk keperluan riset juga sebagai koleksi penemuan yang bisa dipelajari sebagai kekayaan peradaban atau sejarah masa lalu,” tutup Abah Bapung.